"Dilarang Nyanyi Kenyataan" Kok Kayak Pernah Dengar Sebelumnya?!
Musik dan Sensor: Sebuah Pola yang Terulang

Kasus Sukatani dengan lagu "Bayar Bayar Bayar" bukan yang pertama kali terjadi di Indonesia. Dari era Orde Baru hingga sekarang, musisi sering kali berhadapan dengan sensor dan tekanan karena lirik-lirik yang dianggap menyinggung pihak tertentu.
Dulu ada Iwan Fals dengan "Bento", Superman Is Dead dengan kritik sosialnya, sampai lagu-lagu punk yang memang dari sananya keras dan tajam. Sekarang, Sukatani mengalami hal yang sama. Bedanya, sekarang kita hidup di era digital di mana justru semakin ditekan, semakin viral.
Kenapa Lirik Lagu Bisa Bikin Panas?
Musik bukan cuma hiburan, tapi juga media untuk menyampaikan pesan. Banyak musisi dunia seperti Bob Dylan, Rage Against The Machine, hingga Efek Rumah Kaca memakai musik sebagai alat protes. Tapi kenapa kalau kritik datang dari lirik lagu, reaksinya bisa sekeras ini?
Ada dua kemungkinan:
Liriknya terlalu nyata, jadi bikin nggak nyaman.
Ada ketakutan kalau lagu ini bisa membuka mata lebih banyak orang.
Sejarah membuktikan bahwa ketika musik mulai menyuarakan keresahan publik, biasanya ada yang merasa tersindir. Tapi pertanyaannya, kalau memang tidak merasa melakukan hal yang dikritik, kenapa harus tersinggung?
Streisand Effect di Kasus Sukatani ?
Alih-alih membuat lagu ini dilupakan, justru pemaksaan permintaan maaf dan tekanan yang diberikan malah bikin banyak orang penasaran. Fenomena ini disebut "Streisand Effect", di mana sesuatu yang coba disembunyikan malah semakin viral.
Coba aja cek, setelah video permintaan maaf mereka viral, makin banyak yang mendengarkan lagu "Bayar Bayar Bayar". Komentar di media sosial juga semakin panas. Jadi, apakah menekan musisi benar-benar solusi, atau malah jadi bumerang?
Dari Punk ke Hip-Hop: Musisi dan Kekuasaan Selalu Bentrok?
Bukan cuma di Indonesia, di luar negeri pun musik selalu berhadapan dengan kekuasaan. Public Enemy dan N.W.A di Amerika, Pussy Riot di Rusia, hingga Fela Kuti di Nigeria—semuanya pernah mengalami intimidasi karena musik yang dianggap terlalu "menyentil".
Jadi, ini bukan cuma soal Sukatani, tapi soal pola yang terus berulang: musisi mengkritik, pihak tertentu tersinggung, musik dilarang, lalu justru makin banyak yang mendengarkan.
Kesimpulan: Dilarang Nyanyi Kenyataan?
Kalau kita mundur sebentar dan lihat pola sejarah, setiap kali musisi dilarang menyuarakan realita, yang terjadi malah sebaliknya: mereka makin besar.
Pertanyaannya sekarang: Apakah kita mau terus mengulang pola ini? Atau mulai berdamai dengan fakta bahwa musik memang seharusnya bebas berekspresi?
Jangan-jangan, yang sebenarnya dilarang itu bukan lagunya, tapi keberanian kita untuk mengakui kenyataan.
Comments